Selasa, 30 Mei 2017

Descriptive Text: Kotagede Yogyakarta


Example of Descriptive Text


Kotagede/Kutagede
            Kotagede or Kutagede is a kecamatan (term for sub-district in Indonesia) in Yogyakarta City, Special Region of Yogyakarta. It is located in the southest part of the city. That makes the border between Yogyakarta and Bantul lies on the edge of this sub-district. This place is famous for its silver-based jewelry industries. That fact gives a calling to this place Kota Perak; Silver City in English. Beside the silver industry, lately this place gets attention from street photographer for its attractive corners for photo-hunting.

            The beginning of this place’s history is started as the place was well-known as a forest at the eastern of Gajah Wong River. It’s called The Mentaok Forest. About the last years on 16th century, a courtier from Islamic Kingdom of Pajang named Ki Ageng Pemanahan was given this forest as a reward due to his success in taking down rebellions by the Kingdom’s Ruler. Later on, he and his son, Danang Sutawijaya, got rid of the forest and make it into a settlement. He named it ‘Mataram’ and got the tilte Ki Gede Mataram, The Lord of Mataram. This is the earliest story of how Mataram Kingdom was born. After several years, this place became the first capital city of Mataram Kingdom in the Danang Sutawijaya regiment. Then, the name of this city changed into Kotagede.

            Now, it has become one of the central silver industry in Java Island since 30s. But, the tradition of making silver craft in this place had begun since the beginning of the Mataram Kingdom. There are so many active silversmiths who are still active in what they are good at. The most famed product of this industry is hand-made jewelries such as necklaces and rings. The other products from the industry are sculptures, miniatures, hand-beaten bowls, and many more. We can always see that the motives on every work includes floral type, like leaf or lotus flower. That has been the identity of Kotagede’s silver craft since long time ago.

            For the last but not least, Kotagede is one of the ‘must place to go to’ if you love taking pictures, especially the one who loves street photography. There are a lot spots and objects to be taken all over the place. The spots with the most frequency of people coming by are: Traditional Market of Kotagede, Fort Ruins from the colonial era, Tomb of the Mataram Kings, and of course the streets of Kotagede itself.

Write, Read, and Imagine: Dunia Tanpa Sekolah



Identitas           : Autobiografi Dunia Tanpa Sekolah
Judul buku       : Dunia Tanpa Sekolah
Penulis             : Muhammad Izza Ahzin
Editor               : Mahfud, An
Setting              : Peka Offset
Penerbit           : INFA Smart
Tahun terbit     : Cetakan I, Januari 2009
Tempat terbit   : Salatiga
Tebal halaman : 208 halaman sudah termasuk tentang penulis
ISBN                : 978 – 979 – 18766 – 0 – 5

Dunia Tanpa Sekolah
Oleh : Maulana Alif Asy-Syahrani

Buku Dunia Tanpa Sekolah adalah sebuah autobiografi, seri kedua dari trilogi Write, Read, and Imagine (WR&I) yang ditulis oleh seorang remaja berusia 15 tahun kala itu, bernama Muhammad Izza Ahzin. Ditulisnya trilogi ini dimaksudkan sebagai sarana menuangkan isi pikiran penulis mengenai sekolah di Indonesia. Penulis berpendapat bahwa sekolah-yang dalam konteks ini merupakan sistem pendidikan formal pada umumnya di negara ini-malah memenjarakan kreatifitas anak. Penulis mengacu pada sistem mengajar dan belajar yang hanya membentuk anak dari sisi akademis tetapi tidak dari sisi moral. Dalam hal ini, siswa yang saat ini bersekolah di sekolah umum sedang dididik untuk menjadi robot yang tidak berakhlak. Selain itu, penulis juga berpendapat bahwa pelajaran-pelajaran di sekolah umum tidak semuanya terlalu berperan dalam kehidupan dan karir seseorang. Pemikiran-pemikiran dan sudut pandang mengenai sekolah umum yang out of the box mendorongnya untuk melakukan tindakan yang mungkin dapat dikatakan tidak lazim. Keluar sekolah! 

Dalam buku ini, penulis menceritakan keseharian yang ia lakukan selama proses pembuatan seri trilogi WR&I yang pertama. Cemoohan, cibiran, pandangan negatif, dan sebagainya menjadi makanan  sehari-sehari penulis setelah lingkungan sudah mengetahui bahwa beberapa bulan yang lalu ia keluar dari sekolah. Penulisan buku yang pertama itu merupakan sarana pelampiasan penulis karena menurutnya dapat memberikan ketenangan sekaligus nantinya apabila diterbitkan dapat memberi tahu khalayak luas mengenai cara pandangnya.

Di bab pertama, penulis menuliskan perasaan, pendapat, dan sikap yang diambilnya mengenai lingkungan sekitar dan bahkan keluarga yang sudah mengetahui bahwa sang penulis keluar dari sekolah. Dituliskan oleh penulis bahwa lingkungan menilai negatif apa yang dilakukannya. Karena itu, keluarga dan orang-orang dekat sang penulis memperlakukan penulis secara beda. Bahkan ada juga yang menyindir dan mencemooh, terutama nenek dari penulis. Sang penulis pun tidak terima dengan perlakuan lingkungan terhadapnya dan memberikan contoh-dalam buku ini-orang-orang terkenal dan sukses yang mengambil jalan seperti dirinya.

Di bab selanjutnya, diceritakan masa upaya mengangkat citra penulis yang rata-rata masih buruk di pandangan khalayak umum melalui berita oleh majalah lokal Cempaka dan Academia. Penulis mengutarakan pendapatnya mengenai latar belakang dan persoalan hidup masing-masing orang yang berbeda. Dalam kasusnya sendiri yang merupakan seorang remaja berumur 15 tahun, ia harus menghadapi perbedaan persoalan pribadi dengan remaja sebayanya. Jika pada umumnya remaja pada hari itu tengah menghadapi ujian nasional, penulis malah sedang merenungi apa yang terjadi pada dirinya di masa lalu, sekarang, dan yang akan terjadi dengan keputusannya keluar dari sekolah.

Lalu, di bab yang ketiga, diceritakan pada awal bulan Juni 2006, keluarga penulis yang berada di Jogja diberi cobaan dengan diguncangnya Jogja dengan gempa yang dahsyat (5,9 skala richter dan menelan lebih dari 6000 korban jiwa) sehingga harus mengungsi ke Salatiga. Saat penulis mengunjungi keluarganya yang dari Jogja di tempat mereka menginap, karena sudah tahu kondisi penulis serta sudah membaca artikel di majalah Cempaka dan Academia, keluarga penulis mengutarakan pendapatnya kepada penulis. Pendapat keluarga dari Jogja berupa pendapat yang positif dan membangun kepada penulis. Selain menyatakan pendapat, mereka juga berbincang-bincang mengenai tokoh-tokoh (khususnya dalam dunia penulisan) yang keluar sekolah namun sukses dalam berkarir. Inti dari perbincangan mereka adalah penting tidaknya bersekolah formal dan ijazah dalam karir dan kehidupan seseorang. Di sini wawasan penulis mengenai biografi banyak tokoh ditunjukan.

Karya apapun termasuk karya tulis pasti membutuhkan revisi-revisi agar menjadi suatu karya yang baik dan sempurna. Hal ini menjadi persoalan yang harus dihadapi penulis pada bab empat, saat ia membaca ulang draft WR&I 1. Sempat merasa frustasi, penulis lalu sadar bahwa karyanya itu memang membutuhkan ketelitian dan kesabaran agar menjadi buku kisah nyata yang baik. Ini didapatnya dari quote tokoh-tokoh terkenal seperti J.K. Rowling, Javier Cercas, Socrates, sampai nabi Muhammad, serta buku-buku yang menjadi makanan otak penulis seperti Acelereted Learning. Di masa ini ibunya juga memberi dorongan moral agar penulis tidak usah tergesa-gesa dalam penulisannya. Hal yang menjadi masalah utama dalam revisi ini adalah jadwal penulis yang sedikit berubah dengan adanya event empat tahunan, Piala Dunia Sepakbola.

Di atas merupakan ringkasan dari empat bab pertama. Di dalam buku ini juga dituliskan oleh penulis mengenai bagaimana ia harus menghadapi gejolak masa mudanya. Sebagai contoh, pada saat penulis dicerca oleh neneknya mengenai masa depan, keseharian, dan orang tua, penulis terbawa emosinya lalu mengamuk sendiri di dapur. Bahkan penulis sampai bersumpah serapah akan memarahi neneknya itu. Lalu, juga saat penulis mendapat tanggapan berupa kritikan pedas dari suatu komunitas menulis-yang lumayan terkemuka-atas draft WR&I 1. Lalu juga ada kisah perjuangan merintis percetakan keluarga. Awal mula dirintisnya percetakan keluarga tersebut adalah saat menjelang akhir bulan Agustus 2006, di mana penulis telah selesai merevisi WR&I bagian pertama sehingga menjadi draft yang sudah siap cetak. Tiba-tiba muncul tawaran dari pakde penulis untuk membuat percetekan keluarga.

Adapun unsur-unsur intrinsik pada buku ini. Yang pertama, buku ini memiliki alur maju karena penulis menuliskan peristiwa demi peristiwa yang ia alami secara kronologis. Lalu, sudut pandang yang dipakai dalam penulisan buku ini bersifat sudut pandang orang pertama atau first person prespective karena buku ini merupakan sebuah autobiografi. Kemudian, peristiwa-peristiwa dalam kisah penulis mengambil waktu dari bulan Maret sampai bulan November 2006, waktu proses pengerjaan WR&I seri pertama. Yang terakhir, gaya bahasa yang digunakan penulis adalah bahasa sehari-hari yang informal agar mudah dimengerti sehingga pesan penulis kepada pembaca tersampaikan dengan mudah.

Terdapat beberapa kelebihan dari segi isi. Yang pertama, buku ditulis menggunakan bahasa yang mudah dipahami walaupun isi atau materi buku yang lumayan berat bagi remaja. Kemudian, pengalaman penulis yang sangat membuka mata kalangan pelajar dan orang tua didik khususnya tentang sistem pendidikan formal di Indonesia dari sudut pandang yang tidak ordinary, beda dari yang lain. Lalu, pendapat penulis mengenai berbagai hal yang ditulis dalam buku ini didukung oleh referensi-referensi ilmiah dan terpercaya. Selain itu, penjabaran peristiwa yang cukup mendetail-mulai dari waktu, tempat, dan detail lainnya-menambah rasa puas pembaca terhadap informasi yang disuguhkan buku ini.

Selain kelebihan, terdapat juga kekurangan dari buku ini baik dari segi isi maupun teknis. Dari segi isi, walaupun sudah ada referensi-referensi yang mendukung pendapat penulis, akan tetapi masih terdapat beberapa pendapat yang bersifat subyektif. Contohnya, saat penulis menuliskan pendapatnya mengenai suatu forum yang dimintai tanggapan  mengenai bukunya. Pendapat tersebut terkesan kurang bijaksana apabila dituliskan di buku, sehingga pembaca terasa hanya membaca pelampiasan emosi dan isi hati penulis. Sedangkan dari segi teknis, penempatan note atau catatan yang berada di akhir setiap bab membuat pembaca kesulitan harus membolak-balik halaman yang sedang dibaca dan halaman catatan tersebut. Lebih baik catatan berada di bagian bawah halaman (footer) di mana terdapat kalimat atau kata yang memperlukan catatan.

Walaupun dengan kekurangan yang lebih banyak dari pada kelebihannya, buku ini tetap layak dibaca karena memberikan inspirasi dan cara pandang yang baru mengenai pendidikan dan kehidupan. Bagi remaja yang sedang kesulitan mencari jati dirinya akan sangat terbantu oleh pengalaman-pengalaman penulis yang disuguhkan dan dikemas di dalam buku ini. Kepada orang tua yang memiliki anak seorang remaja juga patut membaca buku ini, karena para orang tua akan lebih paham bagaimana cara menghadapi seorang remaja melalui pembelajaran dari sisi psikologi.