Ir. Rachmad Mohamad n.i. adalah salah satu pioneer bagi perkembangan jurusan Fisika Teknik/Teknik Fisika di Indonesia. Beliau adalah alumnus Technische Hogeschool (TH) Delft, fakultas (perguruan tinggi) teknik pertama di Indonesia yang didirikan setelah Perang Dunia I. Beliau pada awalnya mendaftar di Jurusan Elektro. Namun setelah itu beliau sering berindah-pindah jurusan. Karena minatnya pada riset dan penelitian, beliau pindah dari Jurusan Elektro ke Teknik Kimia. Setelah Jurusan Fisika Teknik didirikan, karena minatnya tersebut, beliau akhirnya pindah ke Jurusan Fisika Teknik.
Beliau berpendapat bahwa setiap bangsa mesti melakukan
baik kegiatan rutin maupun kegiatan ilmiah. Kalau tidak, maka bangsa itu tidak
akan pintar. Apabila dibandingkan dengan negara seperti Jepang dan
negara-negara Eropa, kita terlihat kurang pintar. Hal itu disebabkan mereka
gemar melakukan kegiatan ilmiah. Menurut beliau, kegiatan ilmiah inilah yang
perlu ditunjang. Kegiatan ilmiah tersebut diwujudkan dalam suatu riset.
Fisika Teknik
menurut beliau adalah sebuah kajian untuk menghasilkan orang-orang yang
terdidik secara ilmiah di bidang keteknikan. Beliau mengungkapkan bahwa
jurusan-jurusan teknik lainnya seperti Elektro, Mesin, dan Sipil, di aplikasi
yang lebih tinggi membutuhkan orang-orang yang pikirannya basically Physics.
Beliau mencontohkan pada peristiwa pendaratan di Bulan oleh Amerika Serikat
pada tahun 1969 yang membutuhkan orang-orang terdidik dengan pemahaman yang
kuat pada konsep fisika untuk membuat kendaraan yang bisa berjalan di Bulan.
Hubungan antara ilmu murni yang dipelajari oleh Jurusan MIPA dengan jurusan
keteknikan adalah sesuatu yang penting. Ketika orang dari Jurusan MIPA
mencetuskan ide baru (berupa teori), tugas orang Jurusan Teknik yang
mengaplikasikan. Teori tanpa instrumentasi adalah nonsense menurut
beliau. Fisika Teknik adalah jurusan yang menjembatani kedua hal itu.
Beliau adalah salah satu orang yang berjuang untuk
eksistensi dan kemajuan Jurusan Fisika Teknik di Indonesia. Beliau termasuk
salah satu dari lima mahasiswa pertama Fisika Teknik di Indonesia. Pada waktu
ia masih belajar di Indonesia, tempat ia belajar, TH Delft, adalah sebuah
kerjasama antara Indonesia dengan Belanda. Dosen-dosen di jurusan itu adalah
orang Belanda yang notabene memiliki pengetahuan instrmentasi, akustika, dan
bidang-bidang keteknikan Fisika lain yang belum dimiliki orang di Indonesia. Namun
pada masa pengusiran orang Belanda dari Indonesia (sekitar tahun 1957-1958),
dosen-dosen itu pun turut terusir. Mahasiswa Fisika Teknik pada saat itu mau
tidak mau harus ke luar negeri jika ingin melanjutkan pendidikannya. Maka dari
itu, beliau melanjutkan pendidikannya ke Belanda dengan beasiswa dari
perusahaan minyak De Bataafsche Petroleum Maatschappiy.
Sepulangnya dari Belanda, beliau menjadi dosen luar biasa
dan setelah itu dosen tetap di ITB. Beliau adalah orang yang mendirikan
intrumentasi pertama di ITB. Kemudian, setelah ditawarkan bantuan dari Belanda
(saat itu berada pada masa Orde Baru), beliau meminta didirikan instrument
center yang akhirnya menjadi Lembaga Instrumentasi Nasional (LIN) yang
berada di ITB. Setelah itu terdapat perpindahan tempat LIN beberapa kali.
Sampai akhirnya LIN berpindah dari wewenang ITB, karena kurangnya apresiasi
terhadap kegiatan ilmiah, ke tangan Lembaga Ilmu dan Pengetahuan Indonesia
(LIPI). Beliau pun yang pada saat itu menjabat sebagai wakil direktur LIN harus
memilih antara ITB atau LIPI. Akhirnya beliau dipecat dari jabatan itu karena
memilih ITB.
Beliau selalu menekankan akan pentingnya hubungan antara
riset dan praktikum. Kembali mengutip perkataan beliau bahwa teori tanpa
instrumentasi adalah nonsense, maka dapat diartikan juga riset tanpa
praktikum adalah nonsense, vice verca. Maka dari itu adanya sarana dan
prasarana untuk memfasilitasi sebuah bidang keilmuan untuk penelitian adalah
krusial. Penekanan tersebut didasarkan bahwa seharusnya mahasiswa tidak boleh
dipaksa untuk menerima mentah-mentah teori-teori yang diajarkan. Menurutnya, inti
dari semua pendidikan itu adalah mengabdi pada kebenaran, yang didapat dari
observasi. Jadi, bagaimana bisa menjadi insinyur research yang baik
kalau tidak memiliki pengalaman? Bagaimana dapat mendidik sarjana-sarjana
Fisika Teknik yang bermutu tanpa laboratorium? Nonsense.
Daftar
Pustaka
1.
Suyatman, et al. (2004). Engineering
Physics : Antara ‘Fisika Teknik’ dan ‘Teknik Fisika’ (1st ed.).
Bandung : Departemen Teknik Fisika ITB.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar