Tampilkan postingan dengan label Reviews. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Reviews. Tampilkan semua postingan

Selasa, 30 Mei 2017

Write, Read, and Imagine: Dunia Tanpa Sekolah



Identitas           : Autobiografi Dunia Tanpa Sekolah
Judul buku       : Dunia Tanpa Sekolah
Penulis             : Muhammad Izza Ahzin
Editor               : Mahfud, An
Setting              : Peka Offset
Penerbit           : INFA Smart
Tahun terbit     : Cetakan I, Januari 2009
Tempat terbit   : Salatiga
Tebal halaman : 208 halaman sudah termasuk tentang penulis
ISBN                : 978 – 979 – 18766 – 0 – 5

Dunia Tanpa Sekolah
Oleh : Maulana Alif Asy-Syahrani

Buku Dunia Tanpa Sekolah adalah sebuah autobiografi, seri kedua dari trilogi Write, Read, and Imagine (WR&I) yang ditulis oleh seorang remaja berusia 15 tahun kala itu, bernama Muhammad Izza Ahzin. Ditulisnya trilogi ini dimaksudkan sebagai sarana menuangkan isi pikiran penulis mengenai sekolah di Indonesia. Penulis berpendapat bahwa sekolah-yang dalam konteks ini merupakan sistem pendidikan formal pada umumnya di negara ini-malah memenjarakan kreatifitas anak. Penulis mengacu pada sistem mengajar dan belajar yang hanya membentuk anak dari sisi akademis tetapi tidak dari sisi moral. Dalam hal ini, siswa yang saat ini bersekolah di sekolah umum sedang dididik untuk menjadi robot yang tidak berakhlak. Selain itu, penulis juga berpendapat bahwa pelajaran-pelajaran di sekolah umum tidak semuanya terlalu berperan dalam kehidupan dan karir seseorang. Pemikiran-pemikiran dan sudut pandang mengenai sekolah umum yang out of the box mendorongnya untuk melakukan tindakan yang mungkin dapat dikatakan tidak lazim. Keluar sekolah! 

Dalam buku ini, penulis menceritakan keseharian yang ia lakukan selama proses pembuatan seri trilogi WR&I yang pertama. Cemoohan, cibiran, pandangan negatif, dan sebagainya menjadi makanan  sehari-sehari penulis setelah lingkungan sudah mengetahui bahwa beberapa bulan yang lalu ia keluar dari sekolah. Penulisan buku yang pertama itu merupakan sarana pelampiasan penulis karena menurutnya dapat memberikan ketenangan sekaligus nantinya apabila diterbitkan dapat memberi tahu khalayak luas mengenai cara pandangnya.

Di bab pertama, penulis menuliskan perasaan, pendapat, dan sikap yang diambilnya mengenai lingkungan sekitar dan bahkan keluarga yang sudah mengetahui bahwa sang penulis keluar dari sekolah. Dituliskan oleh penulis bahwa lingkungan menilai negatif apa yang dilakukannya. Karena itu, keluarga dan orang-orang dekat sang penulis memperlakukan penulis secara beda. Bahkan ada juga yang menyindir dan mencemooh, terutama nenek dari penulis. Sang penulis pun tidak terima dengan perlakuan lingkungan terhadapnya dan memberikan contoh-dalam buku ini-orang-orang terkenal dan sukses yang mengambil jalan seperti dirinya.

Di bab selanjutnya, diceritakan masa upaya mengangkat citra penulis yang rata-rata masih buruk di pandangan khalayak umum melalui berita oleh majalah lokal Cempaka dan Academia. Penulis mengutarakan pendapatnya mengenai latar belakang dan persoalan hidup masing-masing orang yang berbeda. Dalam kasusnya sendiri yang merupakan seorang remaja berumur 15 tahun, ia harus menghadapi perbedaan persoalan pribadi dengan remaja sebayanya. Jika pada umumnya remaja pada hari itu tengah menghadapi ujian nasional, penulis malah sedang merenungi apa yang terjadi pada dirinya di masa lalu, sekarang, dan yang akan terjadi dengan keputusannya keluar dari sekolah.

Lalu, di bab yang ketiga, diceritakan pada awal bulan Juni 2006, keluarga penulis yang berada di Jogja diberi cobaan dengan diguncangnya Jogja dengan gempa yang dahsyat (5,9 skala richter dan menelan lebih dari 6000 korban jiwa) sehingga harus mengungsi ke Salatiga. Saat penulis mengunjungi keluarganya yang dari Jogja di tempat mereka menginap, karena sudah tahu kondisi penulis serta sudah membaca artikel di majalah Cempaka dan Academia, keluarga penulis mengutarakan pendapatnya kepada penulis. Pendapat keluarga dari Jogja berupa pendapat yang positif dan membangun kepada penulis. Selain menyatakan pendapat, mereka juga berbincang-bincang mengenai tokoh-tokoh (khususnya dalam dunia penulisan) yang keluar sekolah namun sukses dalam berkarir. Inti dari perbincangan mereka adalah penting tidaknya bersekolah formal dan ijazah dalam karir dan kehidupan seseorang. Di sini wawasan penulis mengenai biografi banyak tokoh ditunjukan.

Karya apapun termasuk karya tulis pasti membutuhkan revisi-revisi agar menjadi suatu karya yang baik dan sempurna. Hal ini menjadi persoalan yang harus dihadapi penulis pada bab empat, saat ia membaca ulang draft WR&I 1. Sempat merasa frustasi, penulis lalu sadar bahwa karyanya itu memang membutuhkan ketelitian dan kesabaran agar menjadi buku kisah nyata yang baik. Ini didapatnya dari quote tokoh-tokoh terkenal seperti J.K. Rowling, Javier Cercas, Socrates, sampai nabi Muhammad, serta buku-buku yang menjadi makanan otak penulis seperti Acelereted Learning. Di masa ini ibunya juga memberi dorongan moral agar penulis tidak usah tergesa-gesa dalam penulisannya. Hal yang menjadi masalah utama dalam revisi ini adalah jadwal penulis yang sedikit berubah dengan adanya event empat tahunan, Piala Dunia Sepakbola.

Di atas merupakan ringkasan dari empat bab pertama. Di dalam buku ini juga dituliskan oleh penulis mengenai bagaimana ia harus menghadapi gejolak masa mudanya. Sebagai contoh, pada saat penulis dicerca oleh neneknya mengenai masa depan, keseharian, dan orang tua, penulis terbawa emosinya lalu mengamuk sendiri di dapur. Bahkan penulis sampai bersumpah serapah akan memarahi neneknya itu. Lalu, juga saat penulis mendapat tanggapan berupa kritikan pedas dari suatu komunitas menulis-yang lumayan terkemuka-atas draft WR&I 1. Lalu juga ada kisah perjuangan merintis percetakan keluarga. Awal mula dirintisnya percetakan keluarga tersebut adalah saat menjelang akhir bulan Agustus 2006, di mana penulis telah selesai merevisi WR&I bagian pertama sehingga menjadi draft yang sudah siap cetak. Tiba-tiba muncul tawaran dari pakde penulis untuk membuat percetekan keluarga.

Adapun unsur-unsur intrinsik pada buku ini. Yang pertama, buku ini memiliki alur maju karena penulis menuliskan peristiwa demi peristiwa yang ia alami secara kronologis. Lalu, sudut pandang yang dipakai dalam penulisan buku ini bersifat sudut pandang orang pertama atau first person prespective karena buku ini merupakan sebuah autobiografi. Kemudian, peristiwa-peristiwa dalam kisah penulis mengambil waktu dari bulan Maret sampai bulan November 2006, waktu proses pengerjaan WR&I seri pertama. Yang terakhir, gaya bahasa yang digunakan penulis adalah bahasa sehari-hari yang informal agar mudah dimengerti sehingga pesan penulis kepada pembaca tersampaikan dengan mudah.

Terdapat beberapa kelebihan dari segi isi. Yang pertama, buku ditulis menggunakan bahasa yang mudah dipahami walaupun isi atau materi buku yang lumayan berat bagi remaja. Kemudian, pengalaman penulis yang sangat membuka mata kalangan pelajar dan orang tua didik khususnya tentang sistem pendidikan formal di Indonesia dari sudut pandang yang tidak ordinary, beda dari yang lain. Lalu, pendapat penulis mengenai berbagai hal yang ditulis dalam buku ini didukung oleh referensi-referensi ilmiah dan terpercaya. Selain itu, penjabaran peristiwa yang cukup mendetail-mulai dari waktu, tempat, dan detail lainnya-menambah rasa puas pembaca terhadap informasi yang disuguhkan buku ini.

Selain kelebihan, terdapat juga kekurangan dari buku ini baik dari segi isi maupun teknis. Dari segi isi, walaupun sudah ada referensi-referensi yang mendukung pendapat penulis, akan tetapi masih terdapat beberapa pendapat yang bersifat subyektif. Contohnya, saat penulis menuliskan pendapatnya mengenai suatu forum yang dimintai tanggapan  mengenai bukunya. Pendapat tersebut terkesan kurang bijaksana apabila dituliskan di buku, sehingga pembaca terasa hanya membaca pelampiasan emosi dan isi hati penulis. Sedangkan dari segi teknis, penempatan note atau catatan yang berada di akhir setiap bab membuat pembaca kesulitan harus membolak-balik halaman yang sedang dibaca dan halaman catatan tersebut. Lebih baik catatan berada di bagian bawah halaman (footer) di mana terdapat kalimat atau kata yang memperlukan catatan.

Walaupun dengan kekurangan yang lebih banyak dari pada kelebihannya, buku ini tetap layak dibaca karena memberikan inspirasi dan cara pandang yang baru mengenai pendidikan dan kehidupan. Bagi remaja yang sedang kesulitan mencari jati dirinya akan sangat terbantu oleh pengalaman-pengalaman penulis yang disuguhkan dan dikemas di dalam buku ini. Kepada orang tua yang memiliki anak seorang remaja juga patut membaca buku ini, karena para orang tua akan lebih paham bagaimana cara menghadapi seorang remaja melalui pembelajaran dari sisi psikologi.

Senin, 06 Februari 2017

Hiroshima: Ketika Bom Dijatuhkan


 
Identitas                      : Novel reportase Hiroshima: Ketika Bom Dijatuhkan
Judul                            : Hiroshima: Ketika Bom Dijatuhkan
Penulis                        : John Hersey
Penerbit                       : Komunitas Bambu
Tahun terbit                : Cetakan I, Mei 2008
Tebal halaman                        : 163 halaman tidak termasuk tentang penulis
ISBN                             : 979-3731-29-x

Hiroshima: Ketika Bom Dijatuhkan
Oleh : Maulana Alif Asy-Syahrani

            Tanggal 6 Agustus 1945 merupakan hari yang bersejarah sekaligus menyakitkan bagi rakyat Jepang, khususnya bagi warga kota Hiroshima. Pada hari itu, sebuah bom atom dijatuhkan lalu meledak di atas kota Hiroshima. Sebanyak kurang lebih 78.150 korban tewas, 13.983 korban hilang, dan 37.425 korban terluka akibat dari ledakan bom tersebut. Tidak hanya korban jiwa, infrastruktur bangunan-bangunan yang berdiri tegak pada radius ledakan juga mengalami kerusakan parah. Akan tetapi, hal yang paling luar biasa dari peristiwa itu bukanlah jumlah korban maupun kerusakan yang apabila dikalkulasikan akan membuat seorang kaisar sekalipun pada waktu itu tidak habis pikir. Hal yang paling membuat hati rakyat Jepang terluka adalah sebuah tindakan yang diambil oleh Pemerintah Jepang dalam perang dunia kedua: menyerah!
            Seorang Jurnalis sekaligus penulis novel sejarah bernama John Hersey datang ke Jepang untuk mewawancarai para korban yang masih selamat. Kemudian, hasil dari wawancara itu ia tulis dalam bentuk catatan reportase yang ditulis dengan gaya fiksi dan bersumber dari tangan pertama (langsung). Dengan menggunakan sudut pandang orang ketiga, penulis menjadikan novel ini efektif untuk dipahami.
            Novel ini pertama kali dimuat di The New Yorker pada Agustus 1946 dan mendapat sambutan luas dari pembacanya. Bahkan dalam jagad jurnalistik dunia, karya Hersey pernah dipilih sebuah panel wartawan dan akademisi Universitas Columbia sebagai naskah terbaik Jurnalisme Amerika abad ke-20. Sampai kini dan di mana pun, karya Hersy terus menjadi rujukan pelatihan gaya jurnalisme bernarasi sastra,” ulas tim redaksi Komunitas Bambu yang menjadi penerbit buku ini dalam bahasa Indonesia.
            Pada novel ini, terdapat enam tokoh utama yang kisahnya diceritakan kisahnya pada saat sebelum bom dijatuhkan sampai beberapa waktu pasca pengeboman. Tokoh-tokoh tersebut antara lain, Toshio Sasaki, seorang juru tulis di departemen personalia perusahaan East Asia Tin Works; Dokter Masazaku Fujii, seorang pemilik rumah sakit swasta di Hiroshima;  Hatsuyo Nakamura, seorang janda yang bekerja sebagai penjahit; Wilhelm Kleinsorge, seorang pastur di Society of Jesus yang berasal dari Jerman; Dokter Terufumi Sasaki, seorang Dokter bedah yang masih muda; dan Kiyoshi Tanimoto, seorang pendeta di Gereja Metodis Hiroshima.
            Pada bab pertama, diceritakan cerita mengenai hal-hal yang terjadi pada tokoh utama sebelum pukul 08:15 waktu Jepang, tanggal 6 Agustus, waktu saat bom meledak. Pagi hari pukul 05:00 di gereja kecilnya, pendeta Tanimoto terbangun dari tidurnya. Dia tidak tidur nyenyak pada malam harinya. Semalaman tidurnya terusik oleh pikiran akan kabar penyerangan yang isunya akan menyerang kota itu, ditambah lagi dengan suara peringatan serangan udara yang berkali-kali dibunyikan. Menurut isu yang beredar, kota Hiroshima merupakan sasaran penyerangan angkatan udara Amerika dikarenakan hanya ada dua kota: Kyoto dan Hiroshima, yang belum merasakan dahsyatnya kekuatan B-san­ alias pesawat B-29. Hal ini mempengaruhi pendeta Tanimoto untuk menyuruh istri dan anaknya yang masih berusia satu tahun untuk mengungsi di rumah seorang teman di Ushida. Isu tersebut juga membuat pendeta Tanimoto untuk mengevakuasi barang-barang di gerejanya itu yang dapat dibawa ke Koi, sekitar 3 km dari pusat kota. Bersama dengan Matsuo-temannya-dia mengangkut barang barang seperti kursi, buku pujian, Injil, piano, dan lain-lain. Mereka melewati pusat perbelanjaan, menyeberangi dua buah sungai, hingga jalan menanjak menuju Koi. Belum sampai ditujuan, mereka mendengar sirine tanda aman. Akan tetapi, sesaat kemudian mereka dikagetkan dengan sebuah kilatan cahaya yang tiba-tiba. Sontak insting mereka menggerakan badan mereka untuk melakukan sesuatu. Matsuo berlari menaiki tangga, lalu meloncat masuk ke rumah, dan menguburkan dirinya di antara gulungan alas tidur. Sementara pendeta Tanimoto bergerak empat atau lima langkah dan menjatuhkan diri di antara dua buah batu besar di tanam. Ia lalu merasakan tekanan tiba-tiba yang disusul oleh jatuhnya pecahan papan serta genting di atas badannya.
            Di lain sisi, nyonya Nakamura sibuk membawa tiga anaknya yang masih kecil dari rumahnya di Nobori-cho ke Lapangan Parade Timur untuk mengungsi. Hal ini merupakan imbauan dari radio di tengah malam yang mengatakan bahwa sekitar 200 pesawat B-29 sedang mendekati bagian selatan pulau Honshu. Sesampainya di lokasi pengungsian nyonya Nakamura menggelar alas tidur untuk tidur tiga anaknya dan dia sendiri. Mereka pun tidur. Sekitar pukul 02:00, suara gemuruh pesawat membangunkan mereka. Setelah suara gemuruh itu pergi, mereka kembali ke rumahnya. Setibanya mereka di rumah, nyonya Nakamura dikagetkan dengan adanya peringatan baru. Akan tetapi melihat ketiga anaknya yang sudah lelah, ia pun mengabaikan peringatan itu dan teguh untuk tetap tinggal di rumah. Berdasarkan pengalaman-pengalamannya mengenai peringatan yang berujung dengan tidak adanya penyerangan, ia percaya kali ini akan terjadi hal yang sama. Ia pun tertidur pulas setelahnya.
            Pada pagi harinya, tepatnya pukul 07:00, ia kembali merasa was-was ketika sirine peringatan dibunyikan. Ia lalu bergegas pergi menuju tempat tuan Nakamoto. Ia menanyainya apa yang harus ia lakukan. Ia tak tahu apa yang harus ia lakukan dalam kebingungan ini. Tuan Nakamoto meyarankan untuk tetap tinggal di rumah sampai sirine putus-putus dibunyikan. Nyonya Nakamura yang tidak memiliki pilihan lain lalu mengikuti saran tuan Nakamoto. Di rumah, ia diberikan rasa aman setelah sirine tanda aman dibunyikan pukul 08:00. Pada hari itu, rumah-rumah warga dirubuhkan untuk membuat jalur api guna melokalisir hasil ledakan bom yang diperkirakan pada penyerangan yang dikabarkan. Tak terkecuali rumah nyonya Nakamura juga termasuk yang dirubuhkan, mau tidak mau. Dengan berat hati ia merelakan rumahnya untuk dipereteli demi keselamatan keluarganya. Saat ia melihat tetangganya yang sedang bekerja pada rumahnya, tiba-tiba ia melihat sekelebat cahaya putih melintas. Dengan naluri keibuannya, ia langsung bergerak menuju anak-anaknya. Ia tak tahu betul apa yang terjadi. Tetapi ia merasakan saat ia bergerak menuju anak-anaknya, ia merasa bagaikan terbang karena terangkat sesuatu. Ketika ia terjatuh, papan-papan berjatuhan diikuti dengan genting yang jatuh menimpa dirinya.
             Di hari yang sama, Dokter Fujii masih sempat melakukan berbagai hal di pagi itu sebelum kejadian ‘itu’. Jam 06:30 ia mengantar tamunya ke stasiun. Karena jaraknya yang tidak terlalu jauh, mereka dapat menempuhnya dengan berjalan kaki. Hanya saja, dalam perjalan itu mereka harus melewati dua sungai. Ia tak mau berlama-lama di luar rumah karena udara mulai terasa panas. Pada jam 07:00 saat sirine dibunyikan, Dokter Fujii sudah berada di rumahnya. Ia lalu sarapan dengan terburu-buru, mengingat pagi itu dia bangun lebih pagi dari biasanya yang membuat ia tidak sempat untuk sarapan. Beberapa bulan sejak isu kota tujuan penyerangan berikutnya adalah Hiroshima, ia sudah jarang menerima pasien. Hal ini disebabkan pertimbangannya mengenai berapa banyak pasien yang harus ia selamatkan kalau-kalau terjadi penyerangan. Rumah sakit tempat ia bekerja dan tinggal adalah rumah sakit swasta miliknya sendiri di mana hanya ada ia seorang sebagai Dokter yang dibantu oleh enam orang perawat.
Ketika Dokter Fujii sedang menikmati pagi itu dengan membaca Koran Osaka Asahi, tiba-tiba saja ia melihat kilat. Dengan posisinya saat itu yang membelakangi pusat ledakan, ia berusaha untuk berdiri. Akan tetapi, pada waktu yang bersamaan, rumah sakit tempat ia mencoba untuk berdiri mulai miring. Hanya sekejap saja, bangunan itu akhirnya jatuh ke sungai. Sang Dokter yang masih mencoba untuk berdiri terjorok ke depan dan jatuh. Tiba-tiba saja ia terseret bangunannya yang runtuh itu dan tak sadarkan diri. Ketika ia sudah sadarkan diri, ia merasakan riuh air di sekitarnya.
Tokoh yang selanjutnya, Pastur Wilhelm Kleinsorge, di waktu yang sama, tengah mengalami masalah kesehatan. Dia adalah seorang berkebangsaan Jerman yang memiliki penampilan yang lebih tua dari umurnya pada kala itu, 38 tahun. Orang asing yang pada kala itu mendapat pandangan sinis dari warga setempat, tak terkecuali Pastur Kleinsorge, walaupun dia adalah orang Jerman bukan Amerika, memperburuk keadaannya. Pagi itu, ia merasa lemas ketika bangun dari tidurnya. Walaupun begitu, dia tetap berangkat membaca Misa di kapel kompleks misionari yang terletak di daerah Nobori-cho. Dedikasinya begitu besar untuk Society of Jesus. Setelah pembacaan Misa, Pastur Kleinsorge kemudian membaca doa Thanksgiving. Akan tetapi, tiba-tiba sirine berbunyi yang membuat ibadah terhenti. Tak lama berselang, alarm berhenti berbunyi. Pukul 08.00, sirine tanda situasi aman berbunyi. Para pastur dari Society of Jesus merasa sudah aman untuk melakukan kegiatannya lagi masing-masing. Namun beberapa detik kemudian, sebuah kilat yang hebat muncul. Pastur Kleinsorge sempat berpikir bahwa sebuah bom telah jatuh tepat dia atasnya. Dugaannya memang beralasan, karena mengingat jaraknya yang hanya kurang lebih 1.280 meter dari pusat ledakan. Selanjutnya, selama beberapa detik atau menit, ia kehilangan kesadaran.
Lalu, Dokter Terufumi Sasaki yang tinggal 30 km dari kota bersama ibunya, mengalami mimpi buruk pada malam sebelum hari ‘itu’. Dokter Sasaki adalah seorang Dokter muda berusia 25 tahun yang pada waktu itu baru saja lulus dari Universitas KeDokteran Timur di Tsingtao, Tiongkok. Karena ia sangat kecewa dengan buruknya fasilitas medis yang ada di kota kecil tempat tinggalnya, ia ingin melakukan sesuatu. Ia melakukan praktik dengan cara mengunjungi sejumlah orang sakit pada sore hari, waktu di luar jam bekerja. Berpraktik tanpa izin adalah suatu pelanggaran hukum yang pelakunya akan mendapatkan ganjaran yang cukup berat. Hal ini baru saja ia ketahui. Walaupun demikian ia tetap melanjutkan praktik ilegalnya tersebut. Dalam mimpinya, ia mendapati dirinya tengah bersama seorang pasien. Kemudia datang polisi dan Dokter yang pernah ia tanyai mengenai praktik ilegalnya. Mereka menyeretnya keluar, lalu memukulinya dengan kejam. Mimpi itu cukup kuat untuk membuatnya berhenti untuk melakukan praktik itu. Ia juga berpikir bahwa surat izin tidak mungkin akan keluar.
Saat ia tengah membawa contoh darah yang akan diujikan uji wasserman dari kamar mandi menuju labolatorium di tempat ia bekerja, ia melihat cahaya ledakan bom atom yang terpantulkan oleh koridor. Rumah sakit itu berjarak kira-kira 1.500 meter dari pusat ledakan. Karena posisinya saat itu, Dokter Sasaki tidak terluka.
Dan tokoh yang terkahir, Nona Toshio Sasaki, yang tidak memiliki hubungan saudara dengan Dokter Sasaki, adalah seorang juru tulis di perusahaan East Asia Tin Works (sebuah pabrik timah). Ia berusia 20 tahun. Pada pagi itu, ia ada pekerjaan rumah tambahan yang membuatnya harus bangun pukul 03.00. Lalu, ia melakukan pekerjaan sehari-hari yang biasa ia lakukan. Pada waktu tepat sebelum kejadian ‘itu’, ia sedang merapikan meja kantornya. Kewajibannya adalah mengisi catatan tentang karyawan yang baru masuk, yang keluar, dan yang memasuki Angkatan Darat. Sebelum mulai dengan pekerjaannya, ia berpikir untuk bercakap-cakap dengan seorang gadis di sebelah kanannya. Saat ia menengokkan kepalanya berlawanan dengan jendela, ruangan itu dipenuhi oleh cahaya yang menyilaukan. Cahaya itu membuatnya terpaku untuk waktu yang cukup lama. Pabrik itu berada dalam radius sekitar 1.460 meter dari pusat ledakan. Nona Sasaki kehilangan kesadaran dan benda-benda berjatuhan. Langit-langit pun ikut runtuh bersama dengan lantai kayu di atasnya. Sebelum hal itu terjadi, rak buku di belakang nona Sasaki telah mendorongnya lebih dulu lalu menimpanya. Di tempat itu, baru pertama kalinya di era bom atom, seorang manusia terkubur buku.
Di atas merupakan ringkasan dari kejadian-kejadian seluruh tokoh utama pada bab I. Di bab berikutnya, diceritakan mengenai perjuangan pasca ledakan, bagaimana para tokoh berjuang di tengah krisis kemanusiaan yang melanda, bagaimana para tokoh harus melawan keinginan pribadinya demi kepentingan hidup bersama di masa sulit setelah ledakan. Selain itu, juga diceritakan kehidupan para tokoh setelah beberapa bulan semenjak kejadian itu serta bagaimana pemerintahan Jepang mengambil langkah paska kalah perang untuk keberlangsungan hidup warga dan pemerintahan Jepang.
Terdapat banyak kelebihan dalam novel ini. Yang pertama, penggunaan bahasa Indonesia yang umum membuat novel ini mudah dipahami. Kemudian, tehnik bahasa yang begitu baik dan tepat, serta didukung oleh alur yang maju membuat pembaca merasa benar-benar seperti berada dalam kondisi dan situasi yang sama dengan apa yang diceritakan. Lalu, bentuk fisik buku yang sangat menarik dan membuat pembaca merasa nyaman saat membaca. Mulai dari sampul (cover) dengan desain yang bagus, jenis kertas yang dipakai cukup tebal dan bagus sehingga memudahkan untuk membolak-balik halaman, lay out atau tata letak yang baik, dan font atau jenis huruf dan ukuran yang ideal. Secara keseluruhan, bentuk fisik buku yang simple menjadi daya tarik tersendiri bagi novel ini.
Dapat ditarik kesimpulan bahwa buku ini layak untuk dibaca oleh semua orang. Buku ini wajib dibaca bagi penggemar sastra jurnalistik, juga bagi penggemar novel sejarah. Pembaca dijamin tidak akan merasa menyesal setelah membaca novel ini. Selain sebagai hiburan untuk merelaksasikan pikiran, novel ini dapat menjadi acuan sejarah karena apa yang diceritakan di novel ini dapat dipertanggung jawabkan keasliannya.