Senin, 06 Februari 2017

Hiroshima: Ketika Bom Dijatuhkan


 
Identitas                      : Novel reportase Hiroshima: Ketika Bom Dijatuhkan
Judul                            : Hiroshima: Ketika Bom Dijatuhkan
Penulis                        : John Hersey
Penerbit                       : Komunitas Bambu
Tahun terbit                : Cetakan I, Mei 2008
Tebal halaman                        : 163 halaman tidak termasuk tentang penulis
ISBN                             : 979-3731-29-x

Hiroshima: Ketika Bom Dijatuhkan
Oleh : Maulana Alif Asy-Syahrani

            Tanggal 6 Agustus 1945 merupakan hari yang bersejarah sekaligus menyakitkan bagi rakyat Jepang, khususnya bagi warga kota Hiroshima. Pada hari itu, sebuah bom atom dijatuhkan lalu meledak di atas kota Hiroshima. Sebanyak kurang lebih 78.150 korban tewas, 13.983 korban hilang, dan 37.425 korban terluka akibat dari ledakan bom tersebut. Tidak hanya korban jiwa, infrastruktur bangunan-bangunan yang berdiri tegak pada radius ledakan juga mengalami kerusakan parah. Akan tetapi, hal yang paling luar biasa dari peristiwa itu bukanlah jumlah korban maupun kerusakan yang apabila dikalkulasikan akan membuat seorang kaisar sekalipun pada waktu itu tidak habis pikir. Hal yang paling membuat hati rakyat Jepang terluka adalah sebuah tindakan yang diambil oleh Pemerintah Jepang dalam perang dunia kedua: menyerah!
            Seorang Jurnalis sekaligus penulis novel sejarah bernama John Hersey datang ke Jepang untuk mewawancarai para korban yang masih selamat. Kemudian, hasil dari wawancara itu ia tulis dalam bentuk catatan reportase yang ditulis dengan gaya fiksi dan bersumber dari tangan pertama (langsung). Dengan menggunakan sudut pandang orang ketiga, penulis menjadikan novel ini efektif untuk dipahami.
            Novel ini pertama kali dimuat di The New Yorker pada Agustus 1946 dan mendapat sambutan luas dari pembacanya. Bahkan dalam jagad jurnalistik dunia, karya Hersey pernah dipilih sebuah panel wartawan dan akademisi Universitas Columbia sebagai naskah terbaik Jurnalisme Amerika abad ke-20. Sampai kini dan di mana pun, karya Hersy terus menjadi rujukan pelatihan gaya jurnalisme bernarasi sastra,” ulas tim redaksi Komunitas Bambu yang menjadi penerbit buku ini dalam bahasa Indonesia.
            Pada novel ini, terdapat enam tokoh utama yang kisahnya diceritakan kisahnya pada saat sebelum bom dijatuhkan sampai beberapa waktu pasca pengeboman. Tokoh-tokoh tersebut antara lain, Toshio Sasaki, seorang juru tulis di departemen personalia perusahaan East Asia Tin Works; Dokter Masazaku Fujii, seorang pemilik rumah sakit swasta di Hiroshima;  Hatsuyo Nakamura, seorang janda yang bekerja sebagai penjahit; Wilhelm Kleinsorge, seorang pastur di Society of Jesus yang berasal dari Jerman; Dokter Terufumi Sasaki, seorang Dokter bedah yang masih muda; dan Kiyoshi Tanimoto, seorang pendeta di Gereja Metodis Hiroshima.
            Pada bab pertama, diceritakan cerita mengenai hal-hal yang terjadi pada tokoh utama sebelum pukul 08:15 waktu Jepang, tanggal 6 Agustus, waktu saat bom meledak. Pagi hari pukul 05:00 di gereja kecilnya, pendeta Tanimoto terbangun dari tidurnya. Dia tidak tidur nyenyak pada malam harinya. Semalaman tidurnya terusik oleh pikiran akan kabar penyerangan yang isunya akan menyerang kota itu, ditambah lagi dengan suara peringatan serangan udara yang berkali-kali dibunyikan. Menurut isu yang beredar, kota Hiroshima merupakan sasaran penyerangan angkatan udara Amerika dikarenakan hanya ada dua kota: Kyoto dan Hiroshima, yang belum merasakan dahsyatnya kekuatan B-san­ alias pesawat B-29. Hal ini mempengaruhi pendeta Tanimoto untuk menyuruh istri dan anaknya yang masih berusia satu tahun untuk mengungsi di rumah seorang teman di Ushida. Isu tersebut juga membuat pendeta Tanimoto untuk mengevakuasi barang-barang di gerejanya itu yang dapat dibawa ke Koi, sekitar 3 km dari pusat kota. Bersama dengan Matsuo-temannya-dia mengangkut barang barang seperti kursi, buku pujian, Injil, piano, dan lain-lain. Mereka melewati pusat perbelanjaan, menyeberangi dua buah sungai, hingga jalan menanjak menuju Koi. Belum sampai ditujuan, mereka mendengar sirine tanda aman. Akan tetapi, sesaat kemudian mereka dikagetkan dengan sebuah kilatan cahaya yang tiba-tiba. Sontak insting mereka menggerakan badan mereka untuk melakukan sesuatu. Matsuo berlari menaiki tangga, lalu meloncat masuk ke rumah, dan menguburkan dirinya di antara gulungan alas tidur. Sementara pendeta Tanimoto bergerak empat atau lima langkah dan menjatuhkan diri di antara dua buah batu besar di tanam. Ia lalu merasakan tekanan tiba-tiba yang disusul oleh jatuhnya pecahan papan serta genting di atas badannya.
            Di lain sisi, nyonya Nakamura sibuk membawa tiga anaknya yang masih kecil dari rumahnya di Nobori-cho ke Lapangan Parade Timur untuk mengungsi. Hal ini merupakan imbauan dari radio di tengah malam yang mengatakan bahwa sekitar 200 pesawat B-29 sedang mendekati bagian selatan pulau Honshu. Sesampainya di lokasi pengungsian nyonya Nakamura menggelar alas tidur untuk tidur tiga anaknya dan dia sendiri. Mereka pun tidur. Sekitar pukul 02:00, suara gemuruh pesawat membangunkan mereka. Setelah suara gemuruh itu pergi, mereka kembali ke rumahnya. Setibanya mereka di rumah, nyonya Nakamura dikagetkan dengan adanya peringatan baru. Akan tetapi melihat ketiga anaknya yang sudah lelah, ia pun mengabaikan peringatan itu dan teguh untuk tetap tinggal di rumah. Berdasarkan pengalaman-pengalamannya mengenai peringatan yang berujung dengan tidak adanya penyerangan, ia percaya kali ini akan terjadi hal yang sama. Ia pun tertidur pulas setelahnya.
            Pada pagi harinya, tepatnya pukul 07:00, ia kembali merasa was-was ketika sirine peringatan dibunyikan. Ia lalu bergegas pergi menuju tempat tuan Nakamoto. Ia menanyainya apa yang harus ia lakukan. Ia tak tahu apa yang harus ia lakukan dalam kebingungan ini. Tuan Nakamoto meyarankan untuk tetap tinggal di rumah sampai sirine putus-putus dibunyikan. Nyonya Nakamura yang tidak memiliki pilihan lain lalu mengikuti saran tuan Nakamoto. Di rumah, ia diberikan rasa aman setelah sirine tanda aman dibunyikan pukul 08:00. Pada hari itu, rumah-rumah warga dirubuhkan untuk membuat jalur api guna melokalisir hasil ledakan bom yang diperkirakan pada penyerangan yang dikabarkan. Tak terkecuali rumah nyonya Nakamura juga termasuk yang dirubuhkan, mau tidak mau. Dengan berat hati ia merelakan rumahnya untuk dipereteli demi keselamatan keluarganya. Saat ia melihat tetangganya yang sedang bekerja pada rumahnya, tiba-tiba ia melihat sekelebat cahaya putih melintas. Dengan naluri keibuannya, ia langsung bergerak menuju anak-anaknya. Ia tak tahu betul apa yang terjadi. Tetapi ia merasakan saat ia bergerak menuju anak-anaknya, ia merasa bagaikan terbang karena terangkat sesuatu. Ketika ia terjatuh, papan-papan berjatuhan diikuti dengan genting yang jatuh menimpa dirinya.
             Di hari yang sama, Dokter Fujii masih sempat melakukan berbagai hal di pagi itu sebelum kejadian ‘itu’. Jam 06:30 ia mengantar tamunya ke stasiun. Karena jaraknya yang tidak terlalu jauh, mereka dapat menempuhnya dengan berjalan kaki. Hanya saja, dalam perjalan itu mereka harus melewati dua sungai. Ia tak mau berlama-lama di luar rumah karena udara mulai terasa panas. Pada jam 07:00 saat sirine dibunyikan, Dokter Fujii sudah berada di rumahnya. Ia lalu sarapan dengan terburu-buru, mengingat pagi itu dia bangun lebih pagi dari biasanya yang membuat ia tidak sempat untuk sarapan. Beberapa bulan sejak isu kota tujuan penyerangan berikutnya adalah Hiroshima, ia sudah jarang menerima pasien. Hal ini disebabkan pertimbangannya mengenai berapa banyak pasien yang harus ia selamatkan kalau-kalau terjadi penyerangan. Rumah sakit tempat ia bekerja dan tinggal adalah rumah sakit swasta miliknya sendiri di mana hanya ada ia seorang sebagai Dokter yang dibantu oleh enam orang perawat.
Ketika Dokter Fujii sedang menikmati pagi itu dengan membaca Koran Osaka Asahi, tiba-tiba saja ia melihat kilat. Dengan posisinya saat itu yang membelakangi pusat ledakan, ia berusaha untuk berdiri. Akan tetapi, pada waktu yang bersamaan, rumah sakit tempat ia mencoba untuk berdiri mulai miring. Hanya sekejap saja, bangunan itu akhirnya jatuh ke sungai. Sang Dokter yang masih mencoba untuk berdiri terjorok ke depan dan jatuh. Tiba-tiba saja ia terseret bangunannya yang runtuh itu dan tak sadarkan diri. Ketika ia sudah sadarkan diri, ia merasakan riuh air di sekitarnya.
Tokoh yang selanjutnya, Pastur Wilhelm Kleinsorge, di waktu yang sama, tengah mengalami masalah kesehatan. Dia adalah seorang berkebangsaan Jerman yang memiliki penampilan yang lebih tua dari umurnya pada kala itu, 38 tahun. Orang asing yang pada kala itu mendapat pandangan sinis dari warga setempat, tak terkecuali Pastur Kleinsorge, walaupun dia adalah orang Jerman bukan Amerika, memperburuk keadaannya. Pagi itu, ia merasa lemas ketika bangun dari tidurnya. Walaupun begitu, dia tetap berangkat membaca Misa di kapel kompleks misionari yang terletak di daerah Nobori-cho. Dedikasinya begitu besar untuk Society of Jesus. Setelah pembacaan Misa, Pastur Kleinsorge kemudian membaca doa Thanksgiving. Akan tetapi, tiba-tiba sirine berbunyi yang membuat ibadah terhenti. Tak lama berselang, alarm berhenti berbunyi. Pukul 08.00, sirine tanda situasi aman berbunyi. Para pastur dari Society of Jesus merasa sudah aman untuk melakukan kegiatannya lagi masing-masing. Namun beberapa detik kemudian, sebuah kilat yang hebat muncul. Pastur Kleinsorge sempat berpikir bahwa sebuah bom telah jatuh tepat dia atasnya. Dugaannya memang beralasan, karena mengingat jaraknya yang hanya kurang lebih 1.280 meter dari pusat ledakan. Selanjutnya, selama beberapa detik atau menit, ia kehilangan kesadaran.
Lalu, Dokter Terufumi Sasaki yang tinggal 30 km dari kota bersama ibunya, mengalami mimpi buruk pada malam sebelum hari ‘itu’. Dokter Sasaki adalah seorang Dokter muda berusia 25 tahun yang pada waktu itu baru saja lulus dari Universitas KeDokteran Timur di Tsingtao, Tiongkok. Karena ia sangat kecewa dengan buruknya fasilitas medis yang ada di kota kecil tempat tinggalnya, ia ingin melakukan sesuatu. Ia melakukan praktik dengan cara mengunjungi sejumlah orang sakit pada sore hari, waktu di luar jam bekerja. Berpraktik tanpa izin adalah suatu pelanggaran hukum yang pelakunya akan mendapatkan ganjaran yang cukup berat. Hal ini baru saja ia ketahui. Walaupun demikian ia tetap melanjutkan praktik ilegalnya tersebut. Dalam mimpinya, ia mendapati dirinya tengah bersama seorang pasien. Kemudia datang polisi dan Dokter yang pernah ia tanyai mengenai praktik ilegalnya. Mereka menyeretnya keluar, lalu memukulinya dengan kejam. Mimpi itu cukup kuat untuk membuatnya berhenti untuk melakukan praktik itu. Ia juga berpikir bahwa surat izin tidak mungkin akan keluar.
Saat ia tengah membawa contoh darah yang akan diujikan uji wasserman dari kamar mandi menuju labolatorium di tempat ia bekerja, ia melihat cahaya ledakan bom atom yang terpantulkan oleh koridor. Rumah sakit itu berjarak kira-kira 1.500 meter dari pusat ledakan. Karena posisinya saat itu, Dokter Sasaki tidak terluka.
Dan tokoh yang terkahir, Nona Toshio Sasaki, yang tidak memiliki hubungan saudara dengan Dokter Sasaki, adalah seorang juru tulis di perusahaan East Asia Tin Works (sebuah pabrik timah). Ia berusia 20 tahun. Pada pagi itu, ia ada pekerjaan rumah tambahan yang membuatnya harus bangun pukul 03.00. Lalu, ia melakukan pekerjaan sehari-hari yang biasa ia lakukan. Pada waktu tepat sebelum kejadian ‘itu’, ia sedang merapikan meja kantornya. Kewajibannya adalah mengisi catatan tentang karyawan yang baru masuk, yang keluar, dan yang memasuki Angkatan Darat. Sebelum mulai dengan pekerjaannya, ia berpikir untuk bercakap-cakap dengan seorang gadis di sebelah kanannya. Saat ia menengokkan kepalanya berlawanan dengan jendela, ruangan itu dipenuhi oleh cahaya yang menyilaukan. Cahaya itu membuatnya terpaku untuk waktu yang cukup lama. Pabrik itu berada dalam radius sekitar 1.460 meter dari pusat ledakan. Nona Sasaki kehilangan kesadaran dan benda-benda berjatuhan. Langit-langit pun ikut runtuh bersama dengan lantai kayu di atasnya. Sebelum hal itu terjadi, rak buku di belakang nona Sasaki telah mendorongnya lebih dulu lalu menimpanya. Di tempat itu, baru pertama kalinya di era bom atom, seorang manusia terkubur buku.
Di atas merupakan ringkasan dari kejadian-kejadian seluruh tokoh utama pada bab I. Di bab berikutnya, diceritakan mengenai perjuangan pasca ledakan, bagaimana para tokoh berjuang di tengah krisis kemanusiaan yang melanda, bagaimana para tokoh harus melawan keinginan pribadinya demi kepentingan hidup bersama di masa sulit setelah ledakan. Selain itu, juga diceritakan kehidupan para tokoh setelah beberapa bulan semenjak kejadian itu serta bagaimana pemerintahan Jepang mengambil langkah paska kalah perang untuk keberlangsungan hidup warga dan pemerintahan Jepang.
Terdapat banyak kelebihan dalam novel ini. Yang pertama, penggunaan bahasa Indonesia yang umum membuat novel ini mudah dipahami. Kemudian, tehnik bahasa yang begitu baik dan tepat, serta didukung oleh alur yang maju membuat pembaca merasa benar-benar seperti berada dalam kondisi dan situasi yang sama dengan apa yang diceritakan. Lalu, bentuk fisik buku yang sangat menarik dan membuat pembaca merasa nyaman saat membaca. Mulai dari sampul (cover) dengan desain yang bagus, jenis kertas yang dipakai cukup tebal dan bagus sehingga memudahkan untuk membolak-balik halaman, lay out atau tata letak yang baik, dan font atau jenis huruf dan ukuran yang ideal. Secara keseluruhan, bentuk fisik buku yang simple menjadi daya tarik tersendiri bagi novel ini.
Dapat ditarik kesimpulan bahwa buku ini layak untuk dibaca oleh semua orang. Buku ini wajib dibaca bagi penggemar sastra jurnalistik, juga bagi penggemar novel sejarah. Pembaca dijamin tidak akan merasa menyesal setelah membaca novel ini. Selain sebagai hiburan untuk merelaksasikan pikiran, novel ini dapat menjadi acuan sejarah karena apa yang diceritakan di novel ini dapat dipertanggung jawabkan keasliannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar