Identitas : Novel reportase Hiroshima: Ketika Bom Dijatuhkan
Judul :
Hiroshima: Ketika Bom Dijatuhkan
Penulis :
John Hersey
Penerbit : Komunitas Bambu
Tahun
terbit : Cetakan I, Mei
2008
Tebal
halaman : 163
halaman tidak termasuk tentang penulis
ISBN : 979-3731-29-x
Hiroshima: Ketika Bom Dijatuhkan
Oleh : Maulana Alif Asy-Syahrani
Tanggal
6 Agustus 1945 merupakan hari yang bersejarah sekaligus menyakitkan bagi rakyat
Jepang, khususnya bagi warga kota Hiroshima. Pada hari itu, sebuah bom atom
dijatuhkan lalu meledak di atas kota Hiroshima. Sebanyak kurang lebih 78.150
korban tewas, 13.983 korban hilang, dan 37.425 korban terluka akibat dari
ledakan bom tersebut. Tidak hanya korban jiwa, infrastruktur bangunan-bangunan
yang berdiri tegak pada radius ledakan juga mengalami kerusakan parah. Akan
tetapi, hal yang paling luar biasa dari peristiwa itu bukanlah jumlah korban
maupun kerusakan yang apabila dikalkulasikan akan membuat seorang kaisar
sekalipun pada waktu itu tidak habis pikir. Hal yang paling membuat hati rakyat
Jepang terluka adalah sebuah tindakan yang diambil oleh Pemerintah Jepang dalam
perang dunia kedua: menyerah!
Seorang
Jurnalis sekaligus penulis novel sejarah bernama John Hersey datang ke Jepang
untuk mewawancarai para korban yang masih selamat. Kemudian, hasil dari
wawancara itu ia tulis dalam bentuk catatan reportase yang ditulis dengan gaya
fiksi dan bersumber dari tangan pertama (langsung). Dengan menggunakan sudut
pandang orang ketiga, penulis menjadikan novel ini efektif untuk dipahami.
”Novel ini pertama kali dimuat di The New
Yorker pada Agustus 1946 dan mendapat sambutan luas dari pembacanya. Bahkan
dalam jagad jurnalistik dunia, karya Hersey pernah dipilih sebuah panel
wartawan dan akademisi Universitas Columbia sebagai naskah terbaik Jurnalisme
Amerika abad ke-20. Sampai kini dan di mana pun, karya Hersy terus menjadi
rujukan pelatihan gaya jurnalisme bernarasi sastra,” ulas tim redaksi
Komunitas Bambu yang menjadi penerbit buku ini dalam bahasa Indonesia.
Pada
novel ini, terdapat enam tokoh utama yang kisahnya diceritakan kisahnya pada
saat sebelum bom dijatuhkan sampai beberapa waktu pasca pengeboman. Tokoh-tokoh
tersebut antara lain, Toshio Sasaki, seorang juru tulis di departemen
personalia perusahaan East Asia Tin Works;
Dokter Masazaku Fujii, seorang pemilik rumah sakit swasta di Hiroshima; Hatsuyo Nakamura, seorang janda yang bekerja
sebagai penjahit; Wilhelm Kleinsorge, seorang pastur di Society of Jesus yang berasal dari Jerman; Dokter Terufumi Sasaki,
seorang Dokter bedah yang masih muda; dan Kiyoshi Tanimoto, seorang pendeta di
Gereja Metodis Hiroshima.
Pada
bab pertama, diceritakan cerita mengenai hal-hal yang terjadi pada tokoh utama
sebelum pukul 08:15 waktu Jepang, tanggal 6 Agustus, waktu saat bom meledak.
Pagi hari pukul 05:00 di gereja kecilnya, pendeta Tanimoto terbangun dari
tidurnya. Dia tidak tidur nyenyak pada malam harinya. Semalaman tidurnya
terusik oleh pikiran akan kabar penyerangan yang isunya akan menyerang kota
itu, ditambah lagi dengan suara peringatan serangan udara yang berkali-kali
dibunyikan. Menurut isu yang beredar, kota Hiroshima merupakan sasaran
penyerangan angkatan udara Amerika dikarenakan hanya ada dua kota: Kyoto dan
Hiroshima, yang belum merasakan dahsyatnya kekuatan B-san alias pesawat B-29. Hal ini mempengaruhi pendeta Tanimoto
untuk menyuruh istri dan anaknya yang masih berusia satu tahun untuk mengungsi
di rumah seorang teman di Ushida. Isu tersebut juga membuat pendeta Tanimoto
untuk mengevakuasi barang-barang di gerejanya itu yang dapat dibawa ke Koi,
sekitar 3 km dari pusat kota. Bersama dengan Matsuo-temannya-dia mengangkut
barang barang seperti kursi, buku pujian, Injil, piano, dan lain-lain. Mereka
melewati pusat perbelanjaan, menyeberangi dua buah sungai, hingga jalan
menanjak menuju Koi. Belum sampai ditujuan, mereka mendengar sirine tanda aman.
Akan tetapi, sesaat kemudian mereka dikagetkan dengan sebuah kilatan cahaya
yang tiba-tiba. Sontak insting mereka menggerakan badan mereka untuk melakukan
sesuatu. Matsuo berlari menaiki tangga, lalu meloncat masuk ke rumah, dan
menguburkan dirinya di antara gulungan alas tidur. Sementara pendeta Tanimoto
bergerak empat atau lima langkah dan menjatuhkan diri di antara dua buah batu
besar di tanam. Ia lalu merasakan tekanan tiba-tiba yang disusul oleh jatuhnya
pecahan papan serta genting di atas badannya.
Di
lain sisi, nyonya Nakamura sibuk membawa tiga anaknya yang masih kecil dari
rumahnya di Nobori-cho ke Lapangan Parade Timur untuk mengungsi. Hal ini
merupakan imbauan dari radio di tengah malam yang mengatakan bahwa sekitar 200
pesawat B-29 sedang mendekati bagian selatan pulau Honshu. Sesampainya di
lokasi pengungsian nyonya Nakamura menggelar alas tidur untuk tidur tiga
anaknya dan dia sendiri. Mereka pun tidur. Sekitar pukul 02:00, suara gemuruh
pesawat membangunkan mereka. Setelah suara gemuruh itu pergi, mereka kembali ke
rumahnya. Setibanya mereka di rumah, nyonya Nakamura dikagetkan dengan adanya
peringatan baru. Akan tetapi melihat ketiga anaknya yang sudah lelah, ia pun
mengabaikan peringatan itu dan teguh untuk tetap tinggal di rumah. Berdasarkan
pengalaman-pengalamannya mengenai peringatan yang berujung dengan tidak adanya
penyerangan, ia percaya kali ini akan terjadi hal yang sama. Ia pun tertidur
pulas setelahnya.
Pada
pagi harinya, tepatnya pukul 07:00, ia kembali merasa was-was ketika sirine
peringatan dibunyikan. Ia lalu bergegas pergi menuju tempat tuan Nakamoto. Ia
menanyainya apa yang harus ia lakukan. Ia tak tahu apa yang harus ia lakukan
dalam kebingungan ini. Tuan Nakamoto meyarankan untuk tetap tinggal di rumah
sampai sirine putus-putus dibunyikan. Nyonya Nakamura yang tidak memiliki
pilihan lain lalu mengikuti saran tuan Nakamoto. Di rumah, ia diberikan rasa
aman setelah sirine tanda aman dibunyikan pukul 08:00. Pada hari itu,
rumah-rumah warga dirubuhkan untuk membuat jalur api guna melokalisir hasil
ledakan bom yang diperkirakan pada penyerangan yang dikabarkan. Tak terkecuali
rumah nyonya Nakamura juga termasuk yang dirubuhkan, mau tidak mau. Dengan berat
hati ia merelakan rumahnya untuk dipereteli demi keselamatan keluarganya. Saat
ia melihat tetangganya yang sedang bekerja pada rumahnya, tiba-tiba ia melihat
sekelebat cahaya putih melintas. Dengan naluri keibuannya, ia langsung bergerak
menuju anak-anaknya. Ia tak tahu betul apa yang terjadi. Tetapi ia merasakan
saat ia bergerak menuju anak-anaknya, ia merasa bagaikan terbang karena
terangkat sesuatu. Ketika ia terjatuh, papan-papan berjatuhan diikuti dengan
genting yang jatuh menimpa dirinya.
Di hari yang sama, Dokter Fujii masih sempat
melakukan berbagai hal di pagi itu sebelum kejadian ‘itu’. Jam 06:30 ia
mengantar tamunya ke stasiun. Karena jaraknya yang tidak terlalu jauh, mereka
dapat menempuhnya dengan berjalan kaki. Hanya saja, dalam perjalan itu mereka
harus melewati dua sungai. Ia tak mau berlama-lama di luar rumah karena udara
mulai terasa panas. Pada jam 07:00 saat sirine dibunyikan, Dokter Fujii sudah berada
di rumahnya. Ia lalu sarapan dengan terburu-buru, mengingat pagi itu dia bangun
lebih pagi dari biasanya yang membuat ia tidak sempat untuk sarapan. Beberapa
bulan sejak isu kota tujuan penyerangan berikutnya adalah Hiroshima, ia sudah
jarang menerima pasien. Hal ini disebabkan pertimbangannya mengenai berapa
banyak pasien yang harus ia selamatkan kalau-kalau terjadi penyerangan. Rumah
sakit tempat ia bekerja dan tinggal adalah rumah sakit swasta miliknya sendiri
di mana hanya ada ia seorang sebagai Dokter yang dibantu oleh enam orang
perawat.
Ketika Dokter Fujii sedang
menikmati pagi itu dengan membaca Koran Osaka Asahi, tiba-tiba saja ia melihat
kilat. Dengan posisinya saat itu yang membelakangi pusat ledakan, ia berusaha
untuk berdiri. Akan tetapi, pada waktu yang bersamaan, rumah sakit tempat ia
mencoba untuk berdiri mulai miring. Hanya sekejap saja, bangunan itu akhirnya
jatuh ke sungai. Sang Dokter yang masih mencoba untuk berdiri terjorok ke depan
dan jatuh. Tiba-tiba saja ia terseret bangunannya yang runtuh itu dan tak
sadarkan diri. Ketika ia sudah sadarkan diri, ia merasakan riuh air di
sekitarnya.
Tokoh yang selanjutnya,
Pastur Wilhelm Kleinsorge, di waktu yang sama, tengah mengalami masalah
kesehatan. Dia adalah seorang berkebangsaan Jerman yang memiliki penampilan
yang lebih tua dari umurnya pada kala itu, 38 tahun. Orang asing yang pada kala
itu mendapat pandangan sinis dari warga setempat, tak terkecuali Pastur
Kleinsorge, walaupun dia adalah orang Jerman bukan Amerika, memperburuk
keadaannya. Pagi itu, ia merasa lemas ketika bangun dari tidurnya. Walaupun
begitu, dia tetap berangkat membaca Misa di kapel kompleks misionari yang
terletak di daerah Nobori-cho. Dedikasinya begitu besar untuk Society of Jesus. Setelah pembacaan
Misa, Pastur Kleinsorge kemudian membaca doa Thanksgiving. Akan tetapi, tiba-tiba sirine berbunyi yang membuat
ibadah terhenti. Tak lama berselang, alarm berhenti berbunyi. Pukul 08.00,
sirine tanda situasi aman berbunyi. Para pastur dari Society of Jesus merasa sudah aman untuk melakukan kegiatannya lagi
masing-masing. Namun beberapa detik kemudian, sebuah kilat yang hebat muncul.
Pastur Kleinsorge sempat berpikir bahwa sebuah bom telah jatuh tepat dia
atasnya. Dugaannya memang beralasan, karena mengingat jaraknya yang hanya
kurang lebih 1.280 meter dari pusat ledakan. Selanjutnya, selama beberapa detik
atau menit, ia kehilangan kesadaran.
Lalu, Dokter Terufumi
Sasaki yang tinggal 30 km dari kota bersama ibunya, mengalami mimpi buruk pada
malam sebelum hari ‘itu’. Dokter Sasaki adalah seorang Dokter muda berusia 25
tahun yang pada waktu itu baru saja lulus dari Universitas KeDokteran Timur di
Tsingtao, Tiongkok. Karena ia sangat kecewa dengan buruknya fasilitas medis
yang ada di kota kecil tempat tinggalnya, ia ingin melakukan sesuatu. Ia
melakukan praktik dengan cara mengunjungi sejumlah orang sakit pada sore hari,
waktu di luar jam bekerja. Berpraktik tanpa izin adalah suatu pelanggaran hukum
yang pelakunya akan mendapatkan ganjaran yang cukup berat. Hal ini baru saja ia
ketahui. Walaupun demikian ia tetap melanjutkan praktik ilegalnya tersebut.
Dalam mimpinya, ia mendapati dirinya tengah bersama seorang pasien. Kemudia
datang polisi dan Dokter yang pernah ia tanyai mengenai praktik ilegalnya.
Mereka menyeretnya keluar, lalu memukulinya dengan kejam. Mimpi itu cukup kuat
untuk membuatnya berhenti untuk melakukan praktik itu. Ia juga berpikir bahwa
surat izin tidak mungkin akan keluar.
Saat ia tengah membawa
contoh darah yang akan diujikan uji wasserman dari kamar mandi menuju
labolatorium di tempat ia bekerja, ia melihat cahaya ledakan bom atom yang
terpantulkan oleh koridor. Rumah sakit itu berjarak kira-kira 1.500 meter dari
pusat ledakan. Karena posisinya saat itu, Dokter Sasaki tidak terluka.
Dan tokoh yang terkahir,
Nona Toshio Sasaki, yang tidak memiliki hubungan saudara dengan Dokter Sasaki, adalah
seorang juru tulis di perusahaan East
Asia Tin Works (sebuah pabrik timah). Ia berusia 20 tahun. Pada pagi itu,
ia ada pekerjaan rumah tambahan yang membuatnya harus bangun pukul 03.00. Lalu,
ia melakukan pekerjaan sehari-hari yang biasa ia lakukan. Pada waktu tepat
sebelum kejadian ‘itu’, ia sedang merapikan meja kantornya. Kewajibannya adalah
mengisi catatan tentang karyawan yang baru masuk, yang keluar, dan yang
memasuki Angkatan Darat. Sebelum mulai dengan pekerjaannya, ia berpikir untuk
bercakap-cakap dengan seorang gadis di sebelah kanannya. Saat ia menengokkan
kepalanya berlawanan dengan jendela, ruangan itu dipenuhi oleh cahaya yang
menyilaukan. Cahaya itu membuatnya terpaku untuk waktu yang cukup lama. Pabrik
itu berada dalam radius sekitar 1.460 meter dari pusat ledakan. Nona Sasaki
kehilangan kesadaran dan benda-benda berjatuhan. Langit-langit pun ikut runtuh
bersama dengan lantai kayu di atasnya. Sebelum hal itu terjadi, rak buku di
belakang nona Sasaki telah mendorongnya lebih dulu lalu menimpanya. Di tempat
itu, baru pertama kalinya di era bom atom, seorang manusia terkubur buku.
Di atas merupakan
ringkasan dari kejadian-kejadian seluruh tokoh utama pada bab I. Di bab
berikutnya, diceritakan mengenai perjuangan pasca ledakan, bagaimana para tokoh
berjuang di tengah krisis kemanusiaan yang melanda, bagaimana para tokoh harus
melawan keinginan pribadinya demi kepentingan hidup bersama di masa sulit
setelah ledakan. Selain itu, juga diceritakan kehidupan para tokoh setelah
beberapa bulan semenjak kejadian itu serta bagaimana pemerintahan Jepang
mengambil langkah paska kalah perang untuk keberlangsungan hidup warga dan
pemerintahan Jepang.
Terdapat banyak kelebihan
dalam novel ini. Yang pertama, penggunaan bahasa Indonesia yang umum membuat
novel ini mudah dipahami. Kemudian, tehnik bahasa yang begitu baik dan tepat,
serta didukung oleh alur yang maju membuat pembaca merasa benar-benar seperti
berada dalam kondisi dan situasi yang sama dengan apa yang diceritakan. Lalu,
bentuk fisik buku yang sangat menarik dan membuat pembaca merasa nyaman saat
membaca. Mulai dari sampul (cover) dengan desain yang bagus, jenis kertas yang
dipakai cukup tebal dan bagus sehingga memudahkan untuk membolak-balik halaman,
lay out atau tata letak yang baik,
dan font atau jenis huruf dan ukuran
yang ideal. Secara keseluruhan, bentuk fisik buku yang simple menjadi daya
tarik tersendiri bagi novel ini.
Dapat ditarik kesimpulan
bahwa buku ini layak untuk dibaca oleh semua orang. Buku ini wajib dibaca bagi
penggemar sastra jurnalistik, juga bagi penggemar novel sejarah. Pembaca
dijamin tidak akan merasa menyesal setelah membaca novel ini. Selain sebagai hiburan
untuk merelaksasikan pikiran, novel ini dapat menjadi acuan sejarah karena apa
yang diceritakan di novel ini dapat dipertanggung jawabkan keasliannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar